PERKENALAN DAN PENGENALAN

ASSALAMU'ALAIKUMALHAMDULILLAH WA SYUKURILLAH, AKHIRNYA SETELAH MENUNGGU BERTAHUN-TAHUN BLOG INI TERCIPTA. KURANG LEBIH 14 TAHUM LAMANYA HMI ISIP HANYA BERKUTAT DI TINGKATAN REGIONAL, DAN HARI INI HMI ISIP SUDAH BISA EKSPANSI KEJEROAN DUNIA.TUNGGU SAJA KREASI IDE MENARIK DARI KAMI.TENTU SAJA IDE KAMI LEBIH MENARIK DARI YANG PALING MENARIKLEBIH LUAR BIASA DAR PADA YANG BIASA.KARRENA KAMI MENDOBRAK DENGAN DENGAN HATI LEMBUT KAMI., KETAJAMAN NURANI KAMI, KEJERNIAN PIKIRAN SERTA KEDAHSYATAN GERAKAN KAMI PUN JUGA KEBERANIAN TULISAN KAMI.

TTD

HMI ISIP UMM

kepemimpinan kaum muda

Oleh: A. Zuhdi Z
Sebagaimana diyakini Michel Foucault: knowledge is power, bahwa pengetahuan merupakan satu bentuk kuasa. Pengetahuan—agar teruji kebenaran dan pertanggungjawaban-nya, harus bisa dikonsumsi oleh banyak orang. Artinya, ia musti terdiskursuskan di ranah publik.
Di saat menjadi diskursus publik inilah pengetahuan mulai menjelma sebagai suatu bentuk kuasa. Sebutlah, ide tentang “ke-pemimpinan muda” di Indonesia. Wacana (baca: diskursus) kepemimpinan muda, saat dilempar ke ruang publik, mengambil setting social peringatan sumpah pemuda, satu tahun silam. Dan sampai kini, apalagi menjelang suksesi kepemimpin lewat pemilu 2009, wacana kepemimpinan muda semakin menjadi mainstream.
Kepemimpinan muda seolah benar-benar menjadi kebutuhan mendesak bangsa ini, ditengah berbagai krisis yang melanda. Rakyat Indonesia diperkenalkan, untuk kemudian di-yakinkan, akan urgensi bangsa Indonesia di-pimpin oleh generasi muda—demi terwujudnya tatanan kehidupan yang lebih baik; demi ter-atasinya berbagai problema yang mendera bangsa ini.
Semakin kepemimpinan muda ramai diwacanakan publik, semakin pula ia men-emukan arti pentingnya. Dan pada akhirnya akan menjadi kebenaran khas/tersendiri: sudah saatnya Indonesia dipimpin oleh kaum muda! Kemenangan pasangan Ahmad Heryawan—Dede Yusuf di pilkada Jawa Barat disebut-sebut oleh banyak kalangan sebagai kem-enangan kaum muda.
Lantas, apa relevansi wacana kep-emimpinan muda bagi kita yang saat ini benar-benar muda/belia, mahasiswa pula? Untuk
sementara waktu, saya tak begitu yakin bangsa Indonesia akan dinahkodai oleh kaum muda. Tentu saja, keyakinan saya ini jika yang men-jadi prototype kaum muda adalah kader HMI di lingkungan UMM. Masih jauh…
Kecuali: jika benar-benar tercipta mazhab pemikiran tertentu; jika seluruh “ruang/wadah” (termasuk komisariat) benar-benar menjadi tempat pembinaan pemimpin; jika tak ada lagi kegagapan dalam penguasaan bahasa asing, setidaknya bahasa inggris—di kalangan kader HMI UMM. Semoga! (Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi & Aktivis HMI)

ISLAM AGAMA HUMANIS

Oleh:
Rusmin Ramlan Daeng Parany


Dalam kehidupan bermasyarakat, agama merupakan sebuah keyakinan yang dimiliki oleh setiap manusia untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan di muka bumi. Para ulama, ustadz maupun para tokoh agama lainnya selalu menganggap bahwa agama adalah segala-galanya. Artinya, segala sesuatu yang berkaitan dengan agama adalah masalah-masalah yang sifatnya ritual. Misalnya sholat, puasa dzikir, haji, membaca Al-Qur’an dan sebagainya. Namun disisi lain agama di turunkan oleh Tuhan kepada umatnya adalah untuk menjaga ketentraman, kedamaian dan kesejahteraan dimuka bumi.
Negara kita (Indonesia), para ulama maupun ustadz selalu menganjurkan kepada masyarakat untuk memperbanyak dan melakukan sesuatu yang berkaitan dengan masalah ritual-ritual dan ibadah (sholat, dzikir, puasa, haji dan lain-lain). Sedangkan masalah sosial selalu di kesampingkan. Padahal kita melihat bahwa Islam merupakan agama yang yang humanistik, yaitu agama yang selalu menekankan pada dimensi kemanusiaan. Karena di antara fungsi di turunkannya agama adalah untuk kemaslahatan umat. Kemiskinana dan pengangguran merupakan sebuah permasalahan sosial yang tidak bisa dihindarkan. Di Negara ini, dari tahun ketahun, kemiskinana dan pengagguran selalu mengalami peningkatan.
Malihat fenomena seperti ini, maka saya akan mengutip perkataan Franz Magnis-Suseno tentang agama-agama tradisional. Dia mengatakan bahwa ada dua cacat pada agama-agama tradisional. Pertama, gama-agama tidak peduli terhadap kemiskinan, ketertindasan, ketidak adilan dan penderitaan di sekelilingnya. Agama-agama hanya berfokos pada ritus-ritus dan ibadat, tetapi bahwa banyak orang terbelenggu rasa lapar dan putus asa, tidak di perhatikan. Cacat kedua adalah bahwa agama-agama sudah menjadi salah satu sumber dan penyebab tindak kekerasan dan kekejaman di dalam masyrakat. Misalanya, terorisme.
Jadi, agama hanya di lihat dari sisi ritual dan ibadatnya saja. Pada waktu khotbah Jum’at maupun kajian-kajian yang di lakukan oleh para ulama dan tokoh-tokoh agama misalnya. Mereka selalu menganjurkan dan mengatakan bahwa masyarakat harus memperbanyak ibadah kepada Tuhan melalui beberap macam ritual yang di sebutkan di atas. Dan mereka selalu mangatakan bahwa kemiskinan merupakan cobaan yang di berikan Tuhan kepada hambanya/umatnya, jadi orang miskin harus bersabar dalam menghadapi kemiskinannya. Mereka tidak menganjurkan kepada orang miskin untuk tetap berusaha dalam mengais rejeki. Yang keluar dari mulut para ulama maupun para ustadz tersebut hanyalah bersabar… bersabar… dan bersabar. Bagaimana Negara kita bias maju kalau kita tetap di suruh untuk bersabar, tanpa ada solusi dan usaha. Sebagaimana firman Allah, “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, tapi kaum itulah yang akan merubah nasibnya sendiri”. Dan ironisnya lagi, para ulama maupun ustadz yang menganjurkan hal tersebut adalah orang-orang yang boleh dikatakan sudah mapan. Artinya, mapan dalam hal materi, misalnya kekayaan dan jabatan.
Jadi dalam tulisan ini, boleh saya katakan bahwa para ulama, ustadz maupun para tokoh-tokoh agama lainnya, mereka hanya melihat agama dari sisi ritulnya saja, sedangkan kepentingan social yang merupakan hak manusia atau masyarakat kurang di perhatikan. Sekali lagi, agama yang di turunkan oleh Tuhan di muka bumi ini adalah bukan untuk kepentingan Tuhan, tetapi untuk kepentingan manusia secara universal. Dalam hal ini adalah menjaga kesejahteraan dan kedamaian dalam bermasyarakat.
Para ulama yang selalu menganjurkan untuk memperbanyak sholat, dzikir dan berdoa kepada Tuhan, tetapi mereka tidak melihat fenomena-fenomena sosial yang terjadi pada masyarakat, maka menurut saya, para ulama tersebut belum menunjukkan keteqwaaan mereka yang sebenarnya kapada Tuhannya. Di bandingkan dengan seorang tukang becak atau sopir angkot yang berpanas-panasan dalam mengais rejeki untuk menghidupi keluarganya, atau seorang politisi yang menggunakan politiknya untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Hal semacam inilah menurut saya, merupakan sebuah bentuk ketaqwaan kita kepada Tuhan.
Kita makan dua kali sehari bahkan tiga kali sehari, sedangkan tetangga kita hanya makan sekali sehari sampai bahkan tidak makan sama sekali. Kita tidur beralaskan kasur yang empuk, dirumah yang bagus, di hotel yang mewah, sedangakan saudara-saudara kita yang lain tidur di pinggiran jalan, gubuk, kolong jembatan yang beralaskan Koran dan di tutupi dengan kardus, yang hampir tiap malamnya mereka selalu bergelut dengan kedinginan dan gigitan nyamuk.
Persolan-persolan sosial semacam inilah yang harus kita pikirkan dan selesaikan bersama. Kita melihat kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan, maupun penindasan di negeri ini, kita harus berusaha untuk mencari solusi dalam memecahkan masalah-masalah sosial tersebut. Bukan hanya memberikan tanggungjawab kepada sekelompok orang saja, dalam hal ini pemerintah, tetapi ini adalah tugas dan tanggungjawab kolektif kita sebagai makhluk sosial. “orang yang diam malihat penindasan, maka orang itu lebih kejam dari penindasan tersebut”. Ayatullah Khomaeni.
Sebagai akhir dari tulisan ini, saya ingin mengutib sebuah cerita tentang percakapan antara Nabi Khidir dan Nabi Musa. Kepada Nabi Musa, Nabi Khidir bertanya tentang amalan yang langsung di terima oleh Allah SWT. Setelah jawaban Nabi Musa tidak dirasa benar, maka Nabi Khidir berkata bahwa amalan itu adalah:
Pembebasan manusia dari kezaliman
Memberikan pakaian kepada mereka yang telanjang
Memberikan makan kepada mereka yang kelaparan
Bukan ritual ibadah yang pada dasarnya adalah kewajiban manusia.
Penulis adalah mahasiswa Jurusan
Ilmu Pemerintahan, FISIP.
Universitas Muhammadiyah Malang